Memuat...
28 October 2025 10:22

Kapan Orangtua Perlu Memberikan Mental Health First Aid (MHFA) ke Anak Remaja?

Bagikan artikel

Masa remaja adalah masa penuh perubahan: secara fisik, sosial, maupun emosional. Di satu sisi, remaja mulai mencari jati diri, menguji batas, dan membangun otonomi. Di sisi lain, mereka juga mulai terpapar tekanan akademik, relasi sosial yang kompleks, ekspektasi orangtua, hingga pengaruh media sosial yang membentuk persepsi tentang “cukup” atau “berharga.” Semua itu membuat remaja berada dalam posisi yang rentan mengalami gangguan kesehatan mental, bahkan tanpa mereka sadari. Dalam konteks ini, kehadiran orangtua sebagai pemberi Mental Health First Aid (MHFA) bisa menjadi penentu antara remaja yang terselamatkan atau yang justru tenggelam dalam krisis diam-diam.

MHFA dalam keluarga adalah bentuk pertolongan pertama psikologis yang diberikan orangtua saat anak menunjukkan tanda-tanda distress atau masalah mental. Prinsipnya sama seperti pertolongan pertama fisik: tidak menggantikan dokter atau profesional, tapi cukup memberi dukungan awal sampai bantuan lanjutan tersedia. Namun yang membedakan adalah konteks hubungan yang melekat dimana orangtua tidak sekadar “penolong,” tapi juga figur emosional utama dalam hidup anak. Maka dari itu, waktu dan cara memberikan MHFA menjadi sangat krusial.

Pertanyaannya, kapan sebenarnya orangtua perlu memberikan MHFA kepada anak remaja? Jawabannya dimulai dari momen ketika anak mulai menunjukkan perubahan yang signifikan dalam perilaku, suasana hati, atau cara berpikir. Misalnya, anak yang dulunya aktif tiba-tiba menjadi pendiam dan menarik diri, atau sebaliknya menjadi mudah marah tanpa sebab jelas. Mungkin ia mulai menolak pergi ke sekolah, menghindari teman, atau sering mengeluhkan lelah secara emosional. Bisa juga muncul pernyataan-pernyataan bernada putus asa, seperti “aku capek hidup,” “semua orang benci aku,” atau “aku gagal terus.” Kalimat-kalimat ini bukan sekadar ungkapan remaja yang dramatis. Bisa jadi, itu adalah permintaan tolong yang tidak diucapkan secara langsung.

Memberikan MHFA bukan berarti harus langsung “mengorek” masalah yang dihadapi anak. Justru, langkah awal yang penting adalah hadir secara emosional dengan mendengarkan tanpa menghakimi, memberi ruang tanpa tekanan, dan menanyakan kabar bukan untuk menginterogasi. Kadang, remaja tidak bicara karena takut disalahpahami atau dianggap lemah. Ketika orangtua langsung melompat pada solusi atau menyepelekan masalah (“Itu mah biasa aja, mama dulu juga gitu”), maka kepercayaan bisa langsung runtuh. Sebaliknya, respons sederhana seperti, “Ayah perhatikan kamu belakangan ini sering menyendiri, kamu mau cerita sesuatu?” bisa membuka jalan percakapan yang hangat.

Waktu yang tepat untuk MHFA bukan hanya saat anak terlihat ‘jatuh’, tapi juga saat mereka sedang menghadapi tekanan besar: masuk masa ujian, pindah sekolah, mengalami konflik dengan teman, atau baru saja gagal mencapai sesuatu yang penting. Dalam momen-momen itu, peran orangtua sebagai pendengar aktif sangat dibutuhkan. MHFA juga relevan diberikan ketika anak mengalami peristiwa traumatik, seperti kehilangan anggota keluarga, kekerasan verbal, atau perundungan.

Namun penting diingat, MHFA tidak boleh dijadikan satu-satunya solusi. Jika anak menunjukkan gejala yang berlangsung lama atau mengganggu fungsi sehari-harinya, seperti tidak mau makan, sulit tidur, atau menyakiti diri sendiri, maka langkah selanjutnya adalah menghubungkan anak ke tenaga profesional, seperti psikolog atau psikiater. Di sinilah banyak orangtua ragu: takut anaknya ‘dicap’, takut dikira gagal membesarkan, atau bahkan masih belum percaya bahwa anaknya butuh bantuan psikolog. Padahal, mengajak anak ke psikolog bukan tanda kegagalan, tapi bentuk perlindungan yang bijak. Sama seperti kita membawa anak ke dokter saat demam tinggi, kesehatan mental juga butuh perhatian medis yang tepat.

Dalam praktiknya, MHFA oleh orangtua bisa gagal jika orangtua sendiri belum selesai dengan emosinya. Ketika orangtua cemas berlebihan, tidak bisa mengendalikan marah, atau merasa bersalah terus-menerus, maka proses mendampingi anak justru akan semakin rumit. Maka dari itu, sebelum memberi pertolongan pertama psikologis ke anak, orangtua juga perlu melakukan self-check: apakah saya hadir untuk mendengarkan, atau hadir untuk mengontrol? Apakah saya mampu menerima cerita anak, atau hanya ingin membuatnya ‘baik-baik saja’ sesuai standar saya?

Perlu diingat juga bahwa MHFA dalam keluarga bukan soal menjadi ahli psikologi, tapi tentang menjadi tempat aman. Menjadi orang yang anak tahu akan tetap menerima mereka meski mereka sedang tidak baik-baik saja. Dan ini bisa dimulai dari hal kecil: tidak menertawakan kesedihan mereka, tidak membandingkan dengan remaja lain, dan tidak memaksakan solusi. Alih-alih menasihati, lebih baik bertanya, “Kamu ingin papa bantu apa?” atau “Apa yang bisa mama lakukan untuk membuatmu merasa lebih tenang?”

Dengan memberikan MHFA di waktu yang tepat, orangtua tidak hanya membantu anak melewati masa sulit, tapi juga mengajarkan keterampilan penting: mengenali emosi, meminta bantuan, dan menerima diri apa adanya. Dalam jangka panjang, ini menjadi bekal krusial untuk ketahanan mental anak ketika ia dewasa nanti.

Menjadi orangtua di era ini memang tidak mudah. Tapi kita tidak perlu sempurna untuk menjadi cukup. Dengan kehadiran yang tulus, empati yang konsisten, dan keberanian untuk membuka diri terhadap isu kesehatan mental, setiap orangtua bisa menjadi penyelamat pertama bagi anaknya. Temukan layanan asesmen psikologi terbaik hanya di biro psikologi resmi Assessment Indonesia, mitra terpercaya untuk kebutuhan psikotes. 

 

Referensi:

Kitchener, B. A., & Jorm, A. F. (2002). Mental Health First Aid training: review of evaluation studies. Australian and New Zealand Journal of Psychiatry.

National Institute of Mental Health. (2023). https://www.nimh.nih.gov

Australian Parenting Website – Raising Children Network. (2022). "Supporting your teenager’s mental health." 

Bagikan