Pernah merasa punya banyak tugas tapi malah memilih scroll media sosial, membersihkan kamar, atau membuat kopi untuk ketiga kalinya hari itu? Jika iya, kamu tidak sendiri. Menunda pekerjaan atau prokrastinasi adalah fenomena umum yang dialami hampir semua orang, dari pelajar hingga profesional berpengalaman. Tapi apa sebenarnya alasan di balik kebiasaan ini?
Bukan Masalah Waktu, Tapi Emosi
Salah satu kesalahpahaman terbesar tentang prokrastinasi adalah anggapan bahwa itu semata-mata soal manajemen waktu yang buruk. Faktanya, penundaan sering kali lebih berkaitan dengan pengelolaan emosi. Ketika menghadapi tugas yang terasa membosankan, sulit, atau menimbulkan kecemasan, otak kita cenderung mencari pelarian yang memberi rasa nyaman secara instan seperti membuka YouTube, menonton drama, atau tidur sejenak.
Otak menghindari ketidaknyamanan jangka pendek meskipun tahu ada konsekuensi jangka panjang. Ini yang disebut sebagai "penundaan aktif", di mana kita memilih aktivitas lain demi menghindari perasaan negatif dari pekerjaan yang seharusnya dikerjakan.
Perfeksionisme dan Ketakutan Gagal
Menariknya, orang yang perfeksionis justru sering menjadi penunda. Mengapa? Karena mereka takut hasil akhirnya tidak sempurna. Pikiran seperti "aku belum cukup siap", atau "aku butuh waktu lebih agar hasilnya maksimal" sering kali membuat seseorang menunda tanpa batas.
Akhirnya, tekanan waktu semakin menumpuk, dan tugas tersebut justru dikerjakan secara terburu-buru—jauh dari hasil yang ideal yang awalnya diharapkan.
Otak Lebih Memilih Hadiah Instan
Secara neurologis, prokrastinasi terjadi karena konflik antara dua bagian otak: sistem limbik (bagian emosional yang mencari kenyamanan cepat) dan korteks prefrontal (bagian logis yang merencanakan masa depan). Ketika sistem limbik lebih dominan, kita lebih memilih aktivitas yang menyenangkan saat ini, meskipun itu berarti menunda hal yang penting.
Inilah mengapa hal-hal seperti media sosial, makanan ringan, atau video lucu begitu menggoda saat kita sedang punya pekerjaan besar.
Efek Jangka Panjang yang Sering Diabaikan
Menunda mungkin terasa ringan saat ini, tapi dampaknya bisa serius. Prokrastinasi kronis bisa menyebabkan stres berkepanjangan, rasa bersalah, performa yang buruk, bahkan masalah kesehatan mental. Siklusnya berulang: kita menunda, lalu merasa bersalah, lalu menunda lagi untuk menghindari rasa bersalah itu.
Bagaimana Mengatasi Kebiasaan Ini?
-
Mulai dari hal kecil
Sering kali kita menunda karena tugas terasa terlalu besar. Pecah menjadi bagian-bagian kecil dan fokus pada langkah pertama saja. -
Gunakan teknik "Pomodoro"
Kerjakan tugas selama 25 menit, lalu istirahat 5 menit. Ini membantu mengurangi resistensi terhadap pekerjaan. -
Ubah fokus dari hasil ke proses
Jangan terpaku pada hasil akhir yang harus sempurna. Fokuslah pada kemajuan, sekecil apa pun. -
Sadari pola pikir penghindaran
Ketika terdengar suara dalam kepala yang berkata “nanti saja”, berhenti sejenak dan tanyakan: "Apa yang sebenarnya aku hindari?" -
Latih pengelolaan emosi
Sadari bahwa rasa tidak nyaman adalah bagian dari proses. Kita bisa tetap bertindak meski tidak 100% termotivasi.
Kesimpulan
Menunda pekerjaan bukan berarti kamu malas. Sering kali itu adalah respons emosional yang sangat manusiawi. Namun dengan memahami mekanisme psikologis di baliknya, kamu bisa mulai membangun kebiasaan yang lebih sehat dan produktif. Ingat, tidak ada waktu yang "sempurna" untuk mulai selain sekarang.
Biro psikologi Assesment Indonesia dikenal sebagai pusat asesmen Indonesia yang memberikan berbagai layanan, termasuk jasa psikotes dan asesmen individu, dengan proses yang efisien dan hasil mendalam.