Memberi Pertolongan Saat Seseorang Mengalami Gangguan Psikotik
Gangguan psikotik kerap kali menjadi momok yang menakutkan, baik bagi yang mengalaminya maupun bagi orang-orang di sekitarnya. Persepsi yang salah kaprah bahwa individu dengan gangguan psikotik “gila” atau berbahaya hanya memperparah stigma dan menjauhkan penderita dari bantuan yang mereka butuhkan. Dalam kenyataannya, banyak episode psikotik dapat ditangani secara aman dan manusiawi jika orang di sekitar tahu bagaimana memberikan pertolongan pertama psikologis secara tepat.
Psikosis sendiri merupakan kondisi ketika seseorang kehilangan kontak dengan realitas. Hal ini bisa berupa delusi (keyakinan kuat akan sesuatu yang tidak benar atau tidak realistis), halusinasi (melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu yang tidak ada), serta gangguan berpikir atau berbicara yang kacau. Psikosis bisa menjadi gejala dari gangguan seperti skizofrenia, gangguan bipolar, atau akibat stres berat dan penggunaan zat tertentu. Menurut National Institute of Mental Health (NIMH), satu dari setiap 100 orang dapat mengalami setidaknya satu episode psikotik dalam hidupnya.
Menghadapi seseorang yang mengalami psikosis membutuhkan pemahaman dan kesiapan mental. Langkah pertama yang penting adalah menciptakan rasa aman—baik bagi orang yang mengalami psikosis maupun bagi diri sendiri. Ini bukan hanya soal menghindari tindakan fisik yang agresif, tapi juga soal membangun suasana tenang yang tidak memicu respons panik. Orang dalam kondisi psikotik sangat sensitif terhadap ekspresi wajah, intonasi suara, dan bahasa tubuh. Maka berbicara dengan suara pelan, nada stabil, dan menunjukkan sikap tidak mengancam adalah fondasi awal dari pertolongan yang efektif.
Selanjutnya, penting untuk tidak langsung menyangkal pengalaman mereka. Misalnya, jika seseorang meyakini sedang dibuntuti atau mendengar suara yang tidak ada, menanggapi dengan, “Itu tidak benar, kamu salah,” hanya akan memperburuk perasaan terancam dan membuat mereka menarik diri. Sebaliknya, pendekatan yang lebih empatik seperti, “Aku tidak mendengar suara itu, tapi aku percaya kamu benar-benar mendengarnya,” akan menciptakan ruang aman untuk komunikasi. Prinsip ini sejalan dengan pedoman Mental Health First Aid (MHFA), yang menekankan pentingnya mendengarkan tanpa menghakimi dan menerima perasaan orang tersebut tanpa harus menyetujui delusinya.
Ketika berhadapan dengan psikosis, waktu adalah aspek krusial. Semakin cepat seseorang mendapatkan bantuan profesional, semakin tinggi kemungkinan pemulihan. Oleh karena itu, setelah menciptakan rasa aman dan menjalin komunikasi dasar, langkah selanjutnya adalah mendorong pencarian bantuan medis atau psikiatris. Ini bisa dilakukan dengan bertanya, “Apakah kamu mau aku temani menemui profesional kesehatan mental?” atau menawarkan diri untuk menghubungi keluarga atau layanan darurat jika situasi tampak memburuk.
Namun, tidak semua kondisi bisa ditangani dengan pendekatan tenang. Jika seseorang menunjukkan perilaku yang sangat membahayakan diri sendiri atau orang lain—seperti mencoba melompat dari ketinggian, membawa senjata, atau sangat disorientasi—maka pertolongan profesional darurat sangat diperlukan. Menghubungi layanan gawat darurat dan menjelaskan bahwa ini adalah kasus kesehatan jiwa, bukan kejahatan, dapat menghindari pendekatan yang terlalu represif dari petugas keamanan.
Salah satu tantangan dalam membantu seseorang yang mengalami gangguan psikotik adalah membedakan antara episode psikosis akut dengan gangguan lain yang memiliki gejala mirip, seperti kecemasan berat atau efek zat psikoaktif. Namun, alih-alih mencoba menjadi “dokter dadakan,” langkah terbaik tetaplah fokus pada keamanan, empati, dan koneksi dengan tenaga profesional. World Health Organization (WHO) dalam dokumen "mhGAP Intervention Guide" juga menekankan bahwa pendekatan berbasis komunitas yang didukung oleh keluarga dan tenaga non-spesialis sangat krusial dalam penanganan awal gangguan psikotik, terutama di negara-negara dengan akses layanan kesehatan jiwa terbatas.
Perlu juga dicatat bahwa proses pemulihan dari psikosis tidak berakhir di satu episode. Banyak orang membutuhkan dukungan jangka panjang berupa pengobatan, terapi, dan pendampingan sosial. Oleh sebab itu, peran teman, keluarga, atau rekan kerja yang mampu menunjukkan kepedulian dan tidak melabeli penderita dengan stigma sangat menentukan dalam menjaga martabat serta kesehatan jiwa mereka.
Pada akhirnya, membantu seseorang dengan gangguan psikotik bukan hanya soal “menangani krisis,” tetapi juga soal menjadi bagian dari lingkungan yang inklusif dan peduli. Semakin banyak orang yang memiliki pengetahuan dasar pertolongan pertama psikologis, semakin kecil kemungkinan penderita mengalami penolakan sosial dan semakin besar harapan mereka untuk pulih. Temukan layanan asesmen psikologi terbaik hanya di biro psikologi resmi Assessment Indonesia, mitra terpercaya untuk kebutuhan psikotes.
Referensi:
World Health Organization. (2016). mhGAP Intervention Guide for mental, neurological and substance use disorders in non-specialized health settings. Geneva: WHO.
National Institute of Mental Health (NIMH). (2022). What is Psychosis? Retrieved from: https://www.nimh.nih.gov
Kitchener, B. A., & Jorm, A. F. (2002). Mental health first aid training for the public: evaluation of effects on knowledge, attitudes and helping behavior. BMC Psychiatry, 2(1), 10. https://doi.org/10.1186/1471-244X-2-10
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed.). Arlington, VA: APA.