Bayangkan Anda sedang duduk bersama teman dekat Anda di sebuah kafe, lalu tiba-tiba ia mulai kesulitan bernapas, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar, dan ia berkata merasa seperti akan mati. Reaksi awal banyak orang dalam situasi ini biasanya adalah panik balik, bingung, atau mengira temannya mengalami serangan jantung. Padahal, bisa jadi yang sedang terjadi adalah serangan panik dimana sebuah kondisi psikologis akut yang dapat terasa mengancam jiwa, meskipun secara medis tidak membahayakan secara langsung. Dalam momen-momen genting seperti ini, pertolongan pertama yang tenang dan tepat bisa menjadi pembeda antara pulihnya seseorang secara cepat, atau memburuknya kondisi emosional mereka.
Serangan panik merupakan salah satu manifestasi dari gangguan kecemasan, yang ditandai oleh ledakan rasa takut atau panik yang tiba-tiba dan intens. Serangan ini sering kali terjadi tanpa peringatan, dan dapat berlangsung selama beberapa menit hingga satu jam, dengan gejala fisik yang menyerupai krisis medis: jantung berdebar cepat, napas pendek, mual, pusing, gemetar, hingga rasa seperti “akan mati” (American Psychiatric Association, 2013). Bagi yang belum pernah mengalaminya, serangan panik bisa tampak seperti sesuatu yang bisa diatasi dengan "tenang saja", padahal tidak sesederhana itu.
Langkah pertama dalam menolong seseorang yang mengalami serangan panik adalah dengan memahami bahwa mereka tidak sedang “berlebihan” atau “cari perhatian”. Mereka sedang merasa benar-benar terancam, meskipun tidak ada bahaya fisik nyata di sekitar. Oleh karena itu, pendekatan empatik dan validatif sangat dibutuhkan. Penelitian dari Hofmann & Smits (2008) menunjukkan bahwa dukungan sosial yang tidak menghakimi dapat menurunkan intensitas gejala kecemasan dan mempercepat pemulihan pasca serangan.
Jika Anda menghadapi seseorang yang sedang panik, cobalah tetap tenang dan hindari menyentuh mereka secara tiba-tiba tanpa izin. Duduk atau berdiri di dekatnya dengan suara yang lembut, dan ucapkan kalimat sederhana seperti, “Kamu aman sekarang,” atau “Ini hanya serangan panik, dan itu bisa berlalu.” Kalimat seperti ini bisa membantu memvalidasi pengalaman mereka dan mengurangi rasa takut bahwa mereka sedang sekarat atau "gila."
Langkah berikutnya adalah membantu mereka kembali terkoneksi dengan tubuh dan lingkungan secara perlahan. Salah satu teknik yang banyak direkomendasikan adalah pernapasan terkontrol, yaitu mengajak mereka bernapas dalam-dalam lewat hidung selama 4 detik, menahan napas 4 detik, lalu menghembuskannya perlahan lewat mulut selama 6 detik. Teknik ini secara fisiologis dapat menstabilkan sistem saraf otonom yang sedang aktif berlebihan saat serangan panik (Nave et al., 2021). Bila pernapasan terasa terlalu sulit, teknik “grounding 5-4-3-2-1” juga bisa dicoba, yaitu mengarahkan perhatian ke 5 hal yang bisa dilihat, 4 yang bisa disentuh, 3 yang bisa didengar, 2 yang bisa dicium, dan 1 yang bisa dirasakan. Strategi ini menurunkan gejala derealisasi dan membantu seseorang merasa “hadir” kembali dalam tubuhnya.
Dalam beberapa kasus, seseorang mungkin merasa malu atau frustrasi setelah serangan panik mereda. Di sinilah peran Anda sebagai pemberi dukungan menjadi krusial. Hindari komentar seperti “kamu terlalu sensitif” atau “kamu harus lebih kuat,” dan gantikan dengan, “Terima kasih sudah percaya padaku di momen sulit tadi,” atau “Kamu luar biasa karena berhasil melewati itu.” Penelitian dari Thomas et al. (2019) menegaskan bahwa pemulihan emosional pasca serangan panik sangat dipengaruhi oleh bagaimana lingkungan merespons pengalaman tersebut.
Namun demikian, penting juga untuk mengenali batas. Jika serangan panik terjadi berulang kali dalam seminggu atau mengganggu kehidupan sehari-hari secara signifikan, maka pertolongan profesional harus diupayakan. Anda tidak harus menjadi terapis bagi teman Anda, tetapi Anda bisa menjadi jembatan pertama agar mereka mendapat bantuan yang sesuai. Temukan layanan asesmen psikologi terbaik hanya di biro psikologi resmi Assessment Indonesia, mitra terpercaya untuk kebutuhan psikotes.
Di era di mana isu kesehatan mental semakin terbuka dibicarakan, mengetahui cara memberikan pertolongan pertama pada serangan panik bukan lagi menjadi pengetahuan opsional, melainkan esensial. Seperti halnya kita diajari CPR untuk menyelamatkan nyawa dari henti jantung, maka kita pun perlu membekali diri dengan keterampilan emosional untuk menghadapi kondisi psikologis akut seperti ini.
Pada akhirnya, kehadiran Anda adalah alat bantu yang ampuh dalam menghadapi serangan panik. Sebuah kalimat yang sederhana namun tulus, bisa menjadi jangkar yang membuat seseorang merasa tidak sendirian dalam badai kecemasan yang mencekam.
Referensi:
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed.).
Hofmann, S. G., & Smits, J. A. J. (2008). Cognitive-behavioral therapy for adult anxiety disorders: A meta-analysis of randomized placebo-controlled trials. Journal of Clinical Psychiatry, 69(4), 621–632.
Nave, G., Jung, W. H., & Camerer, C. (2021). Physiological and psychological effects of controlled breathing techniques. Frontiers in Psychology, 12, 684708.
Thomas, E. L., Vines, S. W., & Hall, T. D. (2019). Social responses to mental health disclosures: Impacts on anxiety and emotional recovery. Psychology & Health, 34(2), 179–196.