Depresi bukan sekadar perasaan sedih yang bisa hilang dengan sendirinya. Ia adalah gangguan mental yang kompleks dan sering kali melemahkan fungsi seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2023), depresi mempengaruhi lebih dari 280 juta orang di seluruh dunia dan merupakan penyebab utama disabilitas secara global. Di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, kemampuan memberikan pertolongan pertama psikologis menjadi krusial. Salah satu pendekatan yang kini banyak digunakan adalah Mental Health First Aid (MHFA), sebuah panduan praktis yang membantu orang awam memberi respons awal yang aman dan suportif terhadap individu yang mengalami krisis kesehatan mental, termasuk depresi.
MHFA bukan tentang memberikan diagnosis atau terapi. Sebaliknya, ia berfungsi seperti pertolongan pertama medis: hadir di saat darurat, menstabilkan kondisi awal, dan membantu individu menuju pertolongan profesional. Dalam konteks depresi, peran ini semakin penting karena banyak penderita tidak menyadari kondisi mereka atau enggan mencari bantuan karena stigma sosial, rasa malu, atau ketakutan dianggap lemah. Studi dari Kitchener & Jorm (2006) menunjukkan bahwa pelatihan MHFA dapat secara signifikan meningkatkan pengetahuan masyarakat umum tentang kesehatan mental, menurunkan sikap negatif terhadap penderita, dan meningkatkan tindakan membantu yang tepat.
Dalam praktiknya, memberikan MHFA kepada seseorang yang mengalami depresi menuntut kita untuk menguasai prinsip dasar ALGEE: Approach, Listen, Give support, Encourage professional help, and Encourage self-help. Langkah awal—mendekati orang tersebut dengan empati dan tanpa menghakimi—adalah fondasi penting. Banyak orang dengan depresi mengalami perasaan tidak berharga dan mengisolasi diri, sehingga kehadiran yang tenang dan tidak mengintimidasi bisa sangat berarti. Saat berbicara, kita perlu menghindari nasihat-nasihat klise seperti “kamu harus lebih bersyukur” atau “jangan terlalu dipikirkan.” Kalimat-kalimat seperti ini sering kali memperparah perasaan bersalah atau tidak dimengerti yang sudah mereka alami. Penelitian dari Segrin & Flora (2019) menekankan bahwa komunikasi suportif yang penuh empati lebih efektif dalam mendorong pemulihan dibanding komunikasi yang menilai atau menyederhanakan pengalaman emosional seseorang.
Selanjutnya, mendengarkan secara aktif adalah keterampilan penting. Kita perlu menunjukkan bahwa kita benar-benar mendengar, bukan hanya menunggu giliran bicara. Menjaga kontak mata, memberi jeda saat mereka berbicara, serta tidak buru-buru memotong atau menyimpulkan cerita mereka menjadi bagian dari mendengarkan yang aktif. Di tahap ini, tugas kita bukan menyelesaikan masalah mereka, melainkan menciptakan ruang yang aman untuk mengekspresikan perasaan mereka tanpa takut dihakimi. Dalam banyak kasus, keterbukaan ini justru menjadi langkah awal menuju pemulihan.
Namun, batas MHFA tetap harus dijaga. Kita bukan terapis, dan tidak semua kasus bisa ditangani dengan pendekatan awam. Jika seseorang menunjukkan tanda-tanda depresi berat seperti keputusasaan ekstrem, perubahan pola tidur drastis, penurunan minat pada hampir semua aktivitas, atau bahkan menyatakan keinginan untuk menyakiti diri, maka dorongan untuk mencari bantuan profesional menjadi hal yang sangat penting. Mendorong mereka menemui psikolog, psikiater, atau layanan kesehatan mental terpercaya harus dilakukan dengan cara yang suportif, bukan memaksa. Kita bisa menawarkan bantuan praktis seperti menemani ke layanan kesehatan atau membantu mencari informasi psikolog terdekat.
Satu hal yang juga tidak kalah penting adalah mendorong self-help yang realistis. Aktivitas ringan seperti berjalan kaki, menjaga pola tidur, atau menulis jurnal bisa memberikan manfaat kecil namun nyata dalam jangka panjang. Penelitian dari Cuijpers et al. (2016) menunjukkan bahwa intervensi berbasis gaya hidup seperti olahraga ringan dan meditasi dapat berkontribusi dalam pengurangan gejala depresi ringan hingga sedang, meskipun tentu tidak menggantikan peran profesional medis. Kita bisa menyarankan hal-hal ini dengan nada yang ajakan, bukan tuntutan, agar tidak menambah beban bagi mereka yang sudah merasa kewalahan.
Menjadi orang pertama yang hadir saat seseorang bergumul dengan depresi bukanlah tugas ringan. Diperlukan kesabaran, sensitivitas, dan kesadaran atas batas peran kita. Namun dengan pemahaman yang tepat dan keterampilan MHFA yang baik, kita bisa menjadi bagian dari jaring pengaman yang membuat mereka tidak merasa sendirian. Kita bisa menjadi jembatan yang membawa mereka pada pertolongan yang lebih tepat. Dalam dunia yang masih penuh stigma terhadap kesehatan mental, keberadaan orang-orang yang mau peduli, hadir, dan bertindak dengan empati adalah kunci perubahan yang nyata. Temukan layanan asesmen psikologi terbaik hanya di biro psikologi resmi Assessment Indonesia, mitra terpercaya untuk kebutuhan psikotes.
Referensi:
Kitchener, B. A., & Jorm, A. F. (2006). Mental health first aid training: Review of evaluation studies. Australian & New Zealand Journal of Psychiatry, 40(1), 6-8. https://doi.org/10.1111/j.1440-1614.2006.01735.x
WHO. (2023). Depression. World Health Organization. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/depression
Segrin, C., & Flora, J. (2019). Communication and Mental Health. In Family Communication (3rd ed., pp. 289–310). Routledge.
Cuijpers, P., Karyotaki, E., Reijnders, M., Purgato, M., & de Wit, L. (2016). Meta-analyses and mega-analyses of the effectiveness of digital health interventions for mental health in adults. World Psychiatry, 15(3), 280–288. https://doi.org/10.1002/wps.20375