Memuat...
14 October 2025 10:42

Menjadi Pendengar yang Efektif: Kunci dari MHFA

Bagikan artikel

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali berbicara lebih banyak daripada mendengarkan. Dalam percakapan antar teman, keluarga, bahkan di ruang kerja, kecenderungan untuk langsung merespons, memberi saran, atau menyela sering kali lebih dominan dibanding memberikan ruang bagi orang lain untuk benar-benar didengar. Namun, dalam konteks pertolongan pertama kesehatan mental atau Mental Health First Aid (MHFA), kemampuan mendengarkan bukan hanya keterampilan sosial biasa. Kemampuan mendengarkan merupakan inti dari proses pertolongan yang dapat menyelamatkan seseorang dari krisis emosional yang lebih dalam.

Kondisi kesehatan mental yang memburuk tidak selalu tampak secara kasat mata. Banyak orang yang menderita dalam diam, merasa tidak layak didengarkan, atau terlalu takut dihakimi bila mulai bercerita. Dalam situasi seperti inilah, pendengar yang efektif menjadi sangat penting. Ketika seseorang merasa aman untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan, tanpa takut dinilai atau disalahkan, mereka akan lebih mungkin membuka diri. Ruang itulah yang bisa menjadi awal dari proses pemulihan.

Pendengar yang efektif adalah mereka yang hadir sepenuhnya dalam percakapan. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional dan mental. Dalam praktik MHFA, pendengaran yang efektif berangkat dari prinsip nonjudgmental listening, atau mendengarkan tanpa menghakimi. Ini berarti membuka telinga dan hati kita untuk menerima cerita orang lain, apa adanya, tanpa terburu-buru menilai benar atau salah, logis atau tidak logis, berlebihan atau wajar.

Sayangnya, dalam banyak situasi, kita terlalu cepat tergoda untuk memberikan solusi. Misalnya, saat teman berkata bahwa ia merasa putus asa dengan hidupnya, respons yang sering muncul adalah, “Udahlah, coba pikir yang positif aja,” atau “Kamu harusnya bersyukur, hidupmu lebih enak daripada banyak orang.” Meski terdengar seperti bentuk dukungan, pernyataan semacam ini justru membuat orang merasa tidak divalidasi. Mereka bisa merasa bahwa emosinya dianggap berlebihan atau tidak penting. Padahal, mendengarkan yang efektif bukan tentang menghibur atau membenarkan, tetapi tentang memberi ruang aman agar seseorang bisa mengekspresikan isi hatinya secara utuh.

Dalam MHFA, keterampilan mendengarkan aktif adalah bagian dari langkah-langkah utama yang dikenal sebagai ALGEE. Setelah kita mendekati seseorang yang tampak mengalami tekanan psikologis, kita perlu benar-benar mendengarkan tanpa menyela. Ini melibatkan bahasa tubuh yang mendukung, seperti kontak mata yang konsisten, anggukan kecil sebagai tanda kita mengikuti, serta ekspresi wajah yang menunjukkan empati dan kesediaan untuk memahami. Bahkan diam yang penuh perhatian bisa lebih menenangkan daripada ribuan kata.

Misalnya, ketika seorang rekan kerja mulai bercerita bahwa ia merasa kewalahan, cemas, dan tidak sanggup menyelesaikan tugas, seorang pendengar yang baik tidak akan langsung memberi nasihat seperti, “Coba atur waktumu lebih baik.” Sebaliknya, ia mungkin akan berkata, “Sepertinya kamu benar-benar merasa tertekan, ya. Mau cerita lebih lanjut soal itu?” Kalimat seperti ini tidak hanya menunjukkan empati, tetapi juga membuka kesempatan lebih luas bagi orang tersebut untuk membagikan hal yang lebih dalam.

Dalam mendengarkan secara aktif, penting pula untuk tidak terburu-buru mengaitkan cerita orang lain dengan pengalaman pribadi kita. Saat seseorang menceritakan tentang kesedihannya karena kehilangan orang tua, mengatakan, “Aku juga pernah kehilangan, jadi aku tahu rasanya,” bisa jadi terdengar relevan. Tapi perlu diingat bahwa setiap pengalaman kehilangan bersifat unik. Lebih bijak jika kita menahan keinginan untuk menceritakan diri kita, dan tetap fokus pada cerita orang yang sedang kita bantu. Kadang, satu kalimat seperti “Terima kasih sudah cerita. Aku bisa bayangkan ini berat banget buat kamu,” bisa memberikan rasa diterima dan didengar yang sangat berarti.

Pendengar yang efektif juga tidak mengambil alih percakapan dengan rasa ingin tahu yang berlebihan. Bertanya itu penting, tapi harus dibedakan antara bertanya untuk memahami dan bertanya karena ingin tahu. Pertanyaan seperti, “Kenapa kamu bisa sampai kayak gitu?” cenderung menekan dan mengandung penghakiman terselubung. Sebaliknya, pertanyaan seperti, “Kira-kira apa yang bikin kamu merasa semakin berat akhir-akhir ini?” lebih mengajak orang untuk merefleksikan emosinya tanpa merasa dituntut memberi jawaban yang sempurna.

Menjadi pendengar yang baik tidak berarti kita harus punya semua jawaban. Dalam MHFA, kita tidak dituntut menjadi terapis, konselor, atau ahli. Peran kita adalah menjadi jembatan: menjembatani orang yang sedang kesulitan agar tidak merasa sendirian, dan bila perlu, mengarahkan mereka ke bantuan profesional. Setelah mendengarkan dengan empati, kita bisa berkata, “Kamu mau nggak kalau aku temani kamu bicara ke konselor kampus atau psikolog? Kayaknya mereka bisa bantu lebih dalam.”

Kesediaan kita untuk mendengarkan secara utuh juga memberikan efek jangka panjang bagi relasi. Orang yang merasa dihargai saat berbicara akan lebih terbuka, lebih percaya, dan lebih mungkin untuk meminta bantuan di kemudian hari. Dalam lingkungan kerja, sekolah, maupun komunitas sosial, budaya mendengarkan yang sehat akan memperkuat rasa aman dan keterhubungan antar individu.

Dunia saat ini dipenuhi dengan kebisingan entah secara harfiah maupun emosional. Di tengah banjir informasi dan distraksi digital, orang yang mau sungguh-sungguh mendengarkan menjadi langka dan berharga. Menjadi pendengar yang efektif bukan hanya membantu orang lain, tetapi juga memperkaya sisi kemanusiaan kita sendiri. Ia adalah bentuk kepedulian yang tidak memerlukan biaya, tidak memerlukan gelar, hanya memerlukan hati yang terbuka.

Dalam banyak kasus pertolongan pertama kesehatan mental, pendengar yang hadir dengan empati, sabar, dan tanpa penghakiman telah menyelamatkan lebih banyak jiwa daripada nasihat panjang lebar. Karena bagi banyak orang, didengar adalah bentuk pertolongan paling awal. Temukan layanan asesmen psikologi terbaik hanya di biro psikologi resmi Assessment Indonesia, mitra terpercaya untuk kebutuhan psikotes.

Referensi:

Kitchener, B. A., & Jorm, A. F. (2002). Mental Health First Aid training for the public: Evaluation of effects on knowledge, attitudes, and helping behavior. BMC Psychiatry.

Mental Health First Aid Australia. (2022). Become a Mental Health First Aider. Retrieved from https://mhfa.com.au

National Alliance on Mental Illness (NAMI). (2023). Being a Good Listener. Retrieved from https://www.nami.org

Bagikan