Memuat...
29 October 2025 10:27

Mahasiswa Kena Burnout? Saatnya Teman Sebaya Bisa Beri Pertolongan Awal

Bagikan artikel

Kehidupan kampus yang tampak penuh dinamika dan kebebasan, tidak terlepas dari mahasiswa mengalami tekanan hebat yang perlahan menggerogoti kesehatan mental mereka. Burnout menjadi salah satu bentuk kelelahan emosional yang paling sering terjadi di kalangan mahasiswa, terutama mereka yang menghadapi tuntutan akademik tinggi, tekanan dari keluarga, ekspektasi diri yang tak realistis, serta keterlibatan berlebihan dalam berbagai kegiatan kampus. Sayangnya, banyak dari mereka tidak sadar bahwa kelelahan yang mereka rasakan bukan sekadar lelah fisik, tetapi sudah masuk ke tahap mental burnout. Seringkali kondisi ini berlangsung tanpa disadari oleh orang-orang di sekitarnya.

Burnout pada mahasiswa biasanya tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan, bermula dari keinginan untuk selalu tampil baik, mengejar prestasi, atau memenuhi harapan banyak pihak. Mereka mulai kehilangan rasa antusias terhadap kuliah, merasa tidak punya waktu istirahat, bahkan bangun tidur pun sudah merasa lelah. Beberapa mulai menarik diri dari pergaulan, menghindari tugas, atau menjadi mudah marah dan putus asa. Ketika kondisi ini terus berlanjut tanpa intervensi, bukan hanya performa akademik yang terpengaruh, tetapi juga kesehatan mental secara keseluruhan.

Di sinilah peran teman sebaya menjadi sangat krusial. Dalam konsep Mental Health First Aid (MHFA), pertolongan pertama kesehatan mental bukan hanya bisa dilakukan oleh profesional atau pihak institusi, tapi juga oleh orang-orang terdekat yang mampu mengenali tanda-tanda awal dan memberikan dukungan emosional yang aman. Teman sebaya, dalam konteks ini, memiliki keunggulan karena mereka adalah orang yang paling mungkin berada di sekitar mahasiswa yang sedang mengalami burnout. Mereka berbagi ruang kelas, organisasi, atau bahkan kamar kos. Interaksi harian ini membuat teman sebaya berada dalam posisi yang sangat strategis untuk melihat perubahan perilaku atau emosi sejak dini.

Memberikan pertolongan awal bukan berarti harus menjadi "penyelamat" atau ahli terapi. Hal sederhana seperti menyapa dengan tulus, menunjukkan perhatian, atau meluangkan waktu untuk mendengarkan tanpa menghakimi bisa menjadi titik balik bagi seseorang yang sedang merasa hancur di dalam. Ketika seorang teman menunjukkan tanda-tanda mulai tertutup, murung, atau kehilangan motivasi, ajakan untuk ngobrol santai bisa membuka ruang bagi percakapan yang bermakna. Saat mahasiswa merasa bahwa ia tidak sendirian, bahwa ada orang yang mau mendengarkan tanpa menyalahkan, itu sudah menjadi bentuk dukungan awal yang sangat penting.

Namun, tentu saja, teman sebaya juga perlu dibekali pengetahuan dan batas peran. Tidak semua masalah bisa ditangani sendiri, dan ada kalanya teman perlu menyarankan bantuan profesional seperti konselor kampus atau psikolog. Dalam prinsip MHFA, hal ini disebut sebagai “Encourage appropriate professional help,” yakni mendorong individu yang sedang kesulitan untuk mencari bantuan yang tepat, tanpa memaksa atau menggurui. Teman yang baik bukan hanya yang mau mendengarkan, tetapi juga tahu kapan saatnya mengarahkan seseorang untuk mendapatkan pertolongan yang lebih kompeten.

Salah satu tantangan terbesar dalam memberikan MHFA antar teman adalah adanya rasa sungkan atau takut dianggap ikut campur. Padahal, justru pendekatan teman sebaya seringkali lebih diterima dibandingkan pendekatan formal dari institusi. Mahasiswa cenderung lebih nyaman berbagi kepada teman yang dianggap satu frekuensi, satu pengalaman, dan tidak mengancam privasinya. Oleh karena itu, penting untuk membangun budaya kampus yang ramah mental health, di mana saling peduli bukan dianggap sebagai gangguan, melainkan bagian dari kepedulian bersama.

Selain itu, mahasiswa juga perlu diberikan pelatihan singkat tentang bagaimana menjadi pendengar yang baik, mengenali tanda-tanda awal krisis mental, serta cara mengarahkan temannya untuk mencari bantuan. Program seperti peer-support training atau MHFA training untuk mahasiswa bisa menjadi investasi besar bagi kesehatan mental komunitas kampus secara keseluruhan. Kampus yang sehat tidak hanya ditandai oleh IPK tinggi atau prestasi lomba, tetapi juga oleh mahasiswa yang saling menjaga satu sama lain dalam hal emosional.

Ketika mahasiswa mengalami burnout, mereka membutuhkan ruang untuk dipahami, bukan dinasihati. Mereka membutuhkan teman, bukan penghakim. Dan sering kali, kehadiran satu teman yang benar-benar peduli bisa menjadi penentu apakah seseorang memilih untuk bertahan atau menyerah. Menjadi pemberi pertolongan pertama bukan soal bisa menyelesaikan masalah orang lain, tapi soal berani hadir dan mendampingi saat mereka butuh.

Sudah saatnya kita menggeser cara pandang terhadap pertolongan emosional. Kita semua bisa jadi bagian dari sistem pendukung yang lebih manusiawi dan terhubung. Karena di dunia kampus yang serba cepat dan kompetitif ini, empati teman sebaya bisa menjadi pelampung paling nyata yang menyelamatkan seseorang dari tenggelam dalam tekanan. Temukan layanan asesmen psikologi terbaik hanya di biro psikologi resmi Assessment Indonesia, mitra terpercaya untuk kebutuhan psikotes. 

Referensi:

Maslach, C., & Leiter, M. P. (2016). Burnout in higher education. In Stress and burnout in health care workers (pp. 1–19).

National Alliance on Mental Illness (NAMI). (2023). College Student Mental Health Statistics. https://www.nami.org

Mental Health First Aid USA. (2022). MHFA for Higher Education. https://www.mentalhealthfirstaid.org

World Health Organization. (2019). Burn-out an occupational phenomenon. https://www.who.int

 

Bagikan