Memuat...
21 October 2025 10:18

Kenapa Mendengar Tanpa Menghakimi Itu Susah Tapi Penting?

Bagikan artikel

Mendengarkan mungkin terdengar seperti tindakan yang pasif seperti cukup diam, biarkan orang lain bicara, dan selesai. Namun, siapa pun yang pernah mencoba menjadi tempat curhat bagi seseorang yang sedang dalam tekanan emosional akan menyadari bahwa mendengar, khususnya mendengar tanpa menghakimi, adalah sebuah keterampilan yang kompleks, menantang, dan membutuhkan kesadaran penuh. Dalam konteks kesehatan mental, kemampuan ini menjadi sangat penting karena seringkali, orang yang mengalami masalah psikologis hanya butuh ruang aman untuk merasa didengar, bukan diadili.

Salah satu alasan mengapa mendengarkan tanpa menghakimi terasa sulit adalah karena otak manusia secara alami cenderung membuat penilaian cepat. Psikolog sosial menyebut proses ini sebagai “snap judgment” atau penilaian instan yang terbentuk bahkan sebelum kita menyadari sepenuhnya konteks dari cerita seseorang. Ketika teman menceritakan bahwa ia berhenti dari pekerjaannya tanpa rencana cadangan, atau saat kerabat mengaku merasa ingin menyerah dalam hidup, insting kita bisa langsung mendorong respons seperti, “Kok kamu nggak mikir panjang sih?” atau “Jangan lebay deh.” Reaksi semacam ini mungkin dimaksudkan sebagai bentuk kekhawatiran, tetapi justru memperburuk perasaan orang yang sedang berbagi.

Dalam ranah Mental Health First Aid (MHFA), mendengarkan aktif dan tanpa menghakimi adalah salah satu komponen utama dari langkah awal pertolongan. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan etika komunikasi, melainkan juga tentang menciptakan iklim psikologis yang mendukung pemulihan. Saat seseorang berada dalam kondisi emosional yang rapuh, mereka sangat sensitif terhadap nada, ekspresi wajah, maupun pilihan kata dari lawan bicara. Sebuah komentar yang terdengar menghakimi dapat menghalangi mereka untuk melanjutkan cerita, membuat mereka merasa tidak valid, atau bahkan menyimpulkan bahwa berbicara adalah hal yang sia-sia.

Kita sering kali tergoda untuk menawarkan nasihat cepat atau solusi praktis karena merasa perlu “membetulkan” situasi. Namun, seperti yang ditegaskan oleh American Psychological Association, solusi terbaik tidak selalu datang dari luar, melainkan tumbuh dari proses refleksi internal yang dipicu oleh rasa dimengerti. Dalam hal ini, mendengarkan yang hadir dengan empati dan tanpa interupsi justru menjadi jembatan yang membantu seseorang menemukan pemahamannya sendiri terhadap situasi yang dialaminya.

Kesulitan mendengar tanpa menghakimi juga diperkuat oleh bias personal dan nilai-nilai yang kita pegang. Jika kita dibesarkan dalam lingkungan yang memandang depresi sebagai tanda kelemahan atau menganggap curhat sebagai bentuk kelemahan mental, maka akan butuh usaha sadar untuk tidak menerapkan kacamata yang sama saat seseorang datang membawa cerita kesedihannya. Kita perlu menyadari bahwa mendengarkan dengan empati bukan berarti kita menyetujui setiap keputusan yang diambil orang lain. Melainkan, kita memberi ruang bagi mereka untuk mengurai emosi, menjelaskan alasan-alasannya, dan merasa bahwa pengalaman mereka punya makna.

Penelitian dari Carl Rogers, tokoh psikologi humanistik, menunjukkan bahwa saat seseorang merasa benar-benar didengar dan tidak dihakimi, ia lebih mudah terbuka dan mengalami proses penyembuhan emosional. Ini karena penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard) menjadi fondasi dari relasi yang aman secara emosional. Dalam konteks inilah, mendengarkan menjadi lebih dari sekadar keterampilan teknis. Ia menjadi wujud dari kasih sayang, kepedulian, dan penghargaan terhadap eksistensi orang lain.

Meski demikian, untuk bisa benar-benar hadir sebagai pendengar yang tidak menghakimi, dibutuhkan latihan. Mulai dari mengelola reaksi internal kita sendiri, belajar menahan komentar atau opini, hingga melatih kesadaran atas nada suara dan ekspresi wajah. Kita juga perlu menyadari bahwa kita tidak harus selalu paham secara logis dengan pengalaman orang lain agar bisa mendengarkan dengan baik. Seringkali, tujuan dari mendengar bukan untuk memahami secara intelektual, tapi untuk memberi ruang aman secara emosional.

Dalam praktik MHFA, pelatihan mendengar aktif dilakukan dengan berbagai simulasi agar orang terbiasa memvalidasi perasaan lawan bicara, mengajukan pertanyaan terbuka, dan menggunakan bahasa tubuh yang menunjang. Misalnya, dengan mengangguk pelan, mengucapkan kalimat seperti “Aku bisa bayangkan itu berat,” atau “Makasih udah cerita, pasti gak mudah ngomongin ini.” Kalimat-kalimat sederhana ini bisa menjadi jangkar yang menstabilkan emosi orang lain dan memperkuat hubungan interpersonal.

Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh distraksi digital, kemampuan mendengar semakin langka. Kita sering terjebak dalam kebiasaan multitasking saat seseorang bercerita, separuh perhatian ke gawai, separuh lagi ke lawan bicara. Padahal, mendengarkan yang autentik menuntut kita hadir utuh, tidak hanya dengan telinga, tetapi juga dengan hati dan pikiran. Kemampuan ini tidak hanya bermanfaat dalam konteks pertolongan pertama psikologis, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai teman, pasangan, orangtua, guru, maupun rekan kerja.

Mendengarkan tanpa menghakimi memang sulit. Tapi justru karena itulah, ia menjadi bentuk kepedulian yang paling bermakna. Dalam banyak kasus, orang tidak butuh solusi cepat, mereka hanya ingin diyakinkan bahwa apa yang mereka rasakan valid, dan bahwa mereka tidak sendirian. Dengan menjadi pendengar yang penuh empati dan tanpa penghakiman, kita bukan hanya membantu orang lain merasa lebih baik, tetapi juga memperkuat ikatan sosial yang menjadi fondasi kesehatan mental kolektif kita. Temukan layanan asesmen psikologi terbaik hanya di biro psikologi resmi Assessment Indonesia, mitra terpercaya untuk kebutuhan psikotes. 

 

Referensi:

  • Rogers, C. R. (1951). Client-Centered Therapy. Houghton Mifflin.
  • American Psychological Association. (2023). How to be a better listener.
  • Kitchener, B. A., & Jorm, A. F. (2002). Mental health first aid training for the public: evaluation of effects on knowledge, attitudes and helping behavior. BMC Psychiatry, 2(10).
  • Mental Health First Aid USA. (2024). MHFA Action Plan (ALGEE).
Bagikan