Memuat...
21 March 2025 17:14

Efek 'Quiet Quitting'

Bagikan artikel

Apakah Mengurangi Ambisi Membantu Kesehatan Mental?

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah quiet quitting telah menjadi topik diskusi hangat, terutama di kalangan pekerja muda dan profesional. Fenomena ini merujuk pada sikap bekerja sesuai dengan batas minimum yang diharapkan dalam pekerjaan tanpa melakukan upaya tambahan di luar tugas utama. Alih-alih resign, pekerja yang melakukan quiet quitting tetap berada di posisi mereka namun memilih untuk tidak lagi memberikan upaya yang berlebihan. Lalu, bagaimana dampak fenomena ini terhadap kesehatan mental? Apakah mengurangi ambisi dapat benar-benar membantu, atau justru menciptakan masalah baru?

Mengapa Quiet Quitting Menjadi Tren?

Salah satu alasan utama munculnya quiet quitting adalah kelelahan atau burnout. Dalam dunia kerja modern, terutama setelah pandemi, banyak pekerja merasa bahwa mereka telah memberikan terlalu banyak waktu dan energi tanpa mendapatkan imbalan yang setara, baik secara finansial maupun emosional. Beberapa faktor utama yang mendorong tren ini meliputi:

  • Tekanan kerja berlebihan. Ekspektasi untuk selalu "siap sedia" dan produktif sepanjang waktu dapat membuat pekerja merasa kewalahan.

  • Kurangnya pengakuan. Banyak pekerja merasa bahwa kontribusi ekstra mereka tidak dihargai, baik oleh atasan maupun organisasi.

  • Ketidakseimbangan kehidupan kerja. Generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, semakin sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Manfaat Psikologis dari Quiet Quitting

  1. Mengurangi Risiko Burnout
    Dengan berhenti memaksakan diri untuk memenuhi ekspektasi yang tidak realistis, quiet quitting dapat menjadi strategi untuk mencegah burnout. Pekerja dapat memprioritaskan kesehatan fisik dan mental mereka tanpa merasa bersalah.

  2. Meningkatkan Keseimbangan Hidup
    Melalui quiet quitting, individu lebih banyak waktu untuk mengejar hobi, berkumpul dengan keluarga, atau beristirahat. Keseimbangan ini penting untuk meningkatkan kepuasan hidup secara keseluruhan.

  3. Mengembalikan Kendali Diri
    Fenomena ini memungkinkan pekerja untuk mengambil kembali kendali atas hidup mereka. Ketika seseorang merasa terjebak dalam pekerjaan yang menuntut terlalu banyak, mengambil langkah mundur dapat memberi rasa kontrol yang lebih besar.

  4. Mendorong Refleksi Karier
    Quiet quitting dapat memberi ruang untuk merenungkan apakah pekerjaan yang sedang dijalani benar-benar sejalan dengan tujuan hidup atau hanya sekadar memenuhi kebutuhan finansial.

Risiko Psikologis dari Quiet Quitting

Meskipun memiliki manfaat, quiet quitting juga dapat membawa risiko psikologis tertentu:

  1. Rasa Kehilangan Makna
    Bagi sebagian orang, bekerja dengan antusias adalah bagian dari identitas diri. Mengurangi ambisi dapat menimbulkan rasa hampa atau kehilangan makna dalam pekerjaan.

  2. Potensi Konflik dengan Atasan
    Mengubah sikap kerja tanpa komunikasi yang jelas dapat menyebabkan ketegangan dengan atasan atau rekan kerja, yang pada gilirannya dapat memicu stres tambahan.

  3. Kurangnya Pertumbuhan Karier
    Dengan tidak menunjukkan inisiatif atau mengambil tanggung jawab lebih, pekerja mungkin kehilangan peluang untuk berkembang atau dipromosikan, yang dapat berdampak pada kepuasan jangka panjang.

  4. Stigma Sosial
    Beberapa budaya kerja menilai upaya minimal sebagai bentuk kemalasan atau kurangnya komitmen. Hal ini dapat memengaruhi persepsi orang lain terhadap individu yang melakukan quiet quitting.

Apakah Mengurangi Ambisi Membantu Kesehatan Mental?

Jawabannya tergantung pada konteks dan individu. Mengurangi ambisi memang bisa membantu seseorang menjaga keseimbangan hidup, tetapi ini tidak selalu berarti solusi jangka panjang. Kunci utama adalah menemukan batasan yang sehat antara bekerja keras dan menjaga kesejahteraan.

Bagi beberapa orang, mengurangi ambisi adalah cara untuk melindungi diri dari tekanan pekerjaan yang berlebihan. Namun, bagi yang lain, hal ini dapat menimbulkan rasa stagnasi atau bahkan perasaan bersalah. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan strategi yang lebih seimbang, seperti:

  • Berkomunikasi dengan atasan tentang ekspektasi kerja.

  • Menetapkan prioritas dan batasan yang realistis.

  • Mengembangkan hobi atau kegiatan di luar pekerjaan untuk menjaga keseimbangan mental.

Quiet quitting adalah cerminan dari upaya individu untuk bertahan di lingkungan kerja yang penuh tekanan. Fenomena ini menawarkan solusi sementara untuk mencegah burnout, tetapi juga memiliki risiko yang perlu dipertimbangkan. Sebagai pekerja, penting untuk mengevaluasi tujuan hidup dan karier secara holistik. Mengurangi ambisi bukan berarti berhenti bermimpi, tetapi tentang mengetahui kapan harus berhenti untuk menjaga kesehatan mental dan fisik. Jika kamu memiliki kendala dalam masalah mental atau psikologis, jangan ragu untuk mencari bantuan dari Smile Consulting Indonesia

Dengan konseling psikolog di Biro Psikologi Smile Consulting Indonesia kamu bisa mendapatkan dukungan dan bimbingan yang kamu butuhkan untuk mengatasi masalah tersebut dan memulai perjalanan menuju kesehatan mental yang lebih baik. Ingatlah bahwa kesehatan mental mu adalah hal yang penting, dan kamu pantas mendapatkan dukungan yang kamu butuhkan untuk merasa lebih baik. Psikotes resmi HIMPSI dari Biro Psikologi Smile Consulting Indonesia menawarkan solusi asesmen psikologi yang valid dan dapat diandalkan, memastikan hasil yang optimal untuk berbagai keperluan Anda.

Referensi:

Maslach, C., & Leiter, M. P. (2016). Burnout. In G. Fink (Ed.), Stress: Concepts, cognition, emotion, and behavior (pp. 351–357). Academic Press.

Daniels, K., & Harris, C. (2000). Work-life balance in the changing workplace. British Psychological Society.

Zhang, Y., & Feng, X. (2021). The impact of work stress on employee mental health: A review of the literature. Frontiers in Psychology, 12, 655–667. 

Bagikan