Krisis mental bisa datang kapan saja, pada siapa saja. Ia tidak selalu memberi tanda yang jelas, dan kadang muncul begitu saja, di tengah rutinitas, di tengah pekerjaan, atau bahkan saat kita sedang dikelilingi banyak orang. Perasaan hampa, cemas berlebihan, ledakan emosi, atau keinginan untuk menyerah pada segalanya, semuanya bisa menjadi bagian dari pengalaman krisis. Yang seringkali membuatnya terasa makin menyesakkan adalah kenyataan bahwa kita sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Pertanyaan "apa yang harus aku lakukan sekarang?" menjadi beban lain di atas luka yang sedang terbuka.
Hal pertama yang penting dipahami adalah: tidak apa-apa merasa tidak baik-baik saja. Banyak orang yang sedang berada dalam krisis justru memperparah keadaannya karena merasa bersalah atas emosinya sendiri. Kita hidup dalam budaya yang mengagungkan produktivitas dan ketenangan, sehingga ketika seseorang merasa terpuruk, ia cenderung menyalahkan diri, merasa lemah, atau takut dianggap merepotkan. Padahal, mengalami krisis adalah bagian manusiawi dari kehidupan. Ia bukan tanda kegagalan, melainkan sinyal bahwa tubuh dan pikiran kita sedang butuh pertolongan.
Saat berada dalam situasi seperti ini, langkah awal yang bisa dilakukan adalah berhenti sejenak dan mengakui apa yang sedang kita rasakan. Ini bukan perkara mudah, apalagi jika emosi datang bertumpuk: marah, sedih, bingung, takut, semua dalam waktu bersamaan. Tapi mengakui bahwa "aku sedang tidak baik-baik saja" bisa menjadi pintu pertama menuju pemulihan. Dalam Mental Health First Aid (MHFA), kesadaran diri adalah langkah pertama untuk mengenali kondisi krisis. Tanpa kesadaran ini, kita cenderung menutup-nutupi luka, memaksakan diri menjalani hari seperti biasa, dan menunda kebutuhan akan bantuan sampai semuanya terasa meledak.
Setelah mengakui kondisi diri, penting untuk segera mencari dukungan yang aman dan terpercaya. Tidak harus langsung ke psikolog jika belum siap, kamu bisa mulai dengan menghubungi seseorang yang kamu percaya. Bisa sahabat, saudara, pasangan, atau siapa pun yang mau mendengar tanpa menghakimi. Kalimat sesederhana “Aku lagi gak kuat, boleh gak aku cerita?” bisa membuka percakapan yang bermakna. Dalam banyak kasus, kita tidak butuh solusi instan, tapi cukup tahu bahwa kita tidak sedang sendirian. Kehadiran orang lain yang mau menemani dalam diam saja sudah sangat berarti bagi seseorang yang sedang terpuruk.
Namun, jika kamu merasa tidak aman dengan dirimu sendiri maka langkah paling penting dan mendesak adalah mencari bantuan profesional secepatnya. Di Indonesia, ada layanan seperti Lifeline Indonesia, Pijar Psikologi, dan beberapa rumah sakit yang memiliki layanan gawat darurat psikiatri. Jangan menunggu semuanya terasa "cukup parah" untuk mencari bantuan. Dalam MHFA, kita diajarkan untuk tidak menunggu sampai krisis menjadi bencana. Justru semakin cepat seseorang mendapatkan dukungan, semakin baik prognosis atau kemungkinan pemulihannya.
Kamu juga bisa melakukan tindakan-tindakan sederhana untuk menenangkan diri sementara waktu. Teknik grounding seperti menyebutkan lima benda yang terlihat di sekitar, bernapas dalam-dalam, atau menyentuh benda dingin seperti es batu bisa membantu mengalihkan fokus dari serangan panik atau pikiran yang membebani. Mencatat isi pikiran secara spontan dalam jurnal juga bisa membantu mengurai benang kusut di kepala. Aktivitas-aktivitas ini memang bukan solusi utama, tapi bisa menjadi penopang darurat yang memberi jeda bagi tubuh dan pikiran yang sedang kalut.
Namun satu hal yang penting diingat adalah: kamu tidak harus melalui ini sendirian. Salah satu tantangan terbesar saat krisis adalah kecenderungan untuk menarik diri. Kita merasa tidak ingin membebani orang lain, atau merasa bahwa tidak ada yang benar-benar peduli. Tapi kenyataannya, ada banyak orang yang bersedia membantu jika kamu memberi tahu mereka. Kadang orang-orang terdekat kita tidak tahu bahwa kita sedang kesulitan karena kita terlalu pandai berpura-pura. Oleh karena itu, keberanian untuk meminta bantuan adalah kekuatan, bukan kelemahan.
Di sisi lain, tidak semua orang yang kita temui akan mampu memberi respons yang tepat. Ada yang menanggapi dengan meremehkan, menyalahkan, atau justru membuat kita makin merasa bersalah. Ini bisa melukai, tapi bukan berarti kamu salah berbicara. Kita hanya perlu mencari tempat yang lebih aman. Seperti luka fisik, luka emosional juga butuh penanganan dari "tangan yang tepat". Jika kamu merasa ditolak oleh satu orang, bukan berarti semua orang akan sama. Masih ada ruang untuk sembuh, masih ada orang yang bisa mendengarkan.
Krisis, meskipun menyakitkan, kadang menjadi titik balik dalam hidup seseorang. Banyak orang yang justru menemukan kekuatan baru setelah melewati titik terendah. Namun proses ini tidak bisa dipaksakan atau dipercepat. Setiap orang punya waktunya sendiri. Yang terpenting adalah menjaga diri tetap hidup dan terbuka pada kemungkinan untuk sembuh. Tidak masalah jika hari ini hanya bisa bertahan. Tidak apa-apa jika satu-satunya pencapaianmu hari ini adalah membuka mata dan menarik napas.
Jika kamu sedang berada dalam masa krisis, ingatlah bahwa tidak ada satu pun emosi yang bersifat permanen. Apa yang terasa tak tertahankan hari ini, suatu saat bisa menjadi kisah yang kamu ceritakan dengan penuh kebijaksanaan. Tapi untuk sampai ke titik itu, kamu perlu memeluk dirimu sendiri hari ini. Perlahan. Dengan belas kasih. Dengan keberanian untuk berkata, “Aku butuh bantuan,” dan memberi kesempatan pada orang lain untuk hadir. Percayakan asesmen Anda pada biro psikologi resmi Assessment Indonesia, pusat asesmen psikologi dengan layanan terbaik.
Referensi:
Kitchener, B. A., & Jorm, A. F. (2002). Mental Health First Aid Manual. Melbourne: Mental Health First Aid Australia.
World Health Organization. (2022). Mental health crisis services: Promoting person-centred and rights-based approaches. www.who.int
Pijar Psikologi. (2023). Apa yang Harus Dilakukan Saat Mengalami Krisis Emosional. www.pijarpsikologi.org